Sabtu, 27 Oktober 2012

Tahap V - Feeling, Seeing, Hearing Modes


A.    PENGERTIAN
Setiap manusia memiliki pengalaman dan cara berpikir yang berbeda antara satu orang dengan orang yang lain. Sementara, pengalaman dan cara berpikir yang berbeda ini akan nampak pada cara manusia itu sendiri yang melakukan kontak social dengan lingkungannya dan memberikan respon yang berbeda pula pada setiap stimuli yang ada. Dalam kesadaran yang kita miliki, kita mempunyai perbedaan dalam merasakan pengalaman yang ada dalam hidup kita. Kita dapat merasakan sensasi pengalaman yang kita miliki berdasarkan stimuli eksternal dan internal yang ada. Pada stimuli eksternal, kita dapat menggunakan sensasi tubuh untuk membau, merasa dan menyentuh. Sementara, sensasi tubuh internal adalah yang berhubungan langsung dengan perasaan emosional. Sensasi tubuh tersebut dapat dikombinasikan satu sama lain sebagai perannya untuk membuat kita sadar terhadap dunia. Maka kita dapat menggunakan mode dari sensasi tersebut secara bersamaan. Berdasarkan hal itu, terdapat 3 mode yang dapat digunakan untuk menjelasakan pengalaman kita :
1.         Mode kinestetik (perasaan)
Pada mode kinestetik ini, sebagai konselor, kita berusaha melihat perasaan yang ditunjukan dan muncul dari konseli saat menceritakan pengalamannya. Maka respon yang kita berikan juga harus berkaitan dengan unsur perasaan.
2.         Mode visual (melihat)
Pada mode visual ini,, sebagai konselor kita harus mencoba melihat lebih dalam apa yang digambarkan oleh konseli pada pengalaman yang diceritakannya, sehingga respon kita juga harus berkaitan dengan gambaran pengalamannya.
3.      Mode audiotori (mendengar)
Pada mode audiotori ini, sebagai konselor kita mencoba mendengarkan apa yang selalu atau lebih dominan yang ia ceritakan tentang pengalamannya. Hal yang dominan yang selalu berulang kali ia ceritakan tentang pengalamannya itulah sebagai respon yang harus kita berikan kepada konseli.




B.     PEMBAHASAN
Berdasarkan definisi ketiga mode diatas, prosesnya diawali ketika konseli menceritakan pengalaman yang ada pada dirinya. Lalu sebagai konselor, kita harus peka akan kata-kata yang individu ulangi tanpa disadari.
1.      Mode kinestetik (perasaan)
Misalnya, dalam suatu konseling, konseli menceritakan perasaan trauma yang dialami setelah kecelakaan. Dalam proses konseling tersebut, konseli selalu mengulang kata-kata yang berhubungan dengan perasaan yang dimiliki.
Ex.
Konseli : ketika saya mendengar suara jeritan penumpang lain yang keadaan tubuh mereka sudah bersimbah darah, saya mengalami ketakutan yang luar biasa. Apalagi saat menyadari kaki saya tidak dapat digerakkan lagi.
Konselor : Saya memahami ketakutan anda pada situasi tersebut.
2.      Mode visual (melihat)
Misalnya, konseli menceritakan keadaan keluarganya yang berantakan.
Ex.
Konseli : ketika saya masih kecil, orangtua saya terlihat tidak berinteraksi di rumah. Di malam hari, saya selalu melihat mereka bertengkar di ruang TV.
Konselor : saya dapat menangkap gambaran situasi yang anda maksud. Anda masih terbayang-bayang pertengkaran orangtua anda.
3.      Mode Audiotori (mendengar)
Misalnya, konseli mengalami trauma mendengar gemuruh saat gunung merapi meletus.
Ex.
Konseli : pada malam itu, saya mendengar gemuruh yang cukup keras yang diikuti dengan hentakan kaki warga sekitar ketika melarikan diri.
Konselor : saya dapat memahami bagaimana suara itu terdengar menakutkan bagi anda.



C.    KESIMPULAN
Seorang konselor yang baik haruslah peka dan mengerti apa yang dikatakan klien. Termasuk memperhatikan mode yang dominan digunakan klien ketika sedang bercerita. Jika konselor melakukan hal tersebut, maka klien akan merasakan suatu kebersamaan yang amat lekat. Klien akan merasa nyaman, aman, dan terbuka dalam menceritakan pengalamannya kepada konselor. Jika klien mengulang kata “melihat” dalam setiap perkataannya, maka konselor dapat menanggapi dengan mengulang kata “melihat” juga. Klien yang mengulang kata “mendengar” dalam setiap perkataannya, konselor dapat menanggapi dengan mengulang kata “mendengar” juga, begitu seterusnya.














Tahap IV - Refleksi Isi dan Perasaan


KETERAMPILAN DASAR DALAM KONSELING:
REFLEKSI ISI DAN PERASAAN

A.     PENDAHULUAN
              Konseling merupakan aktivitas menciptakan hubungan yang bersifat membantu klien memahami diri, menyeleksi tindakan, mengintervensi situasi antar pribadi dan melatih kepemimpinan. Dengan tujuan untuk mencapai penyesuaian diri yang lebih baik dan perkembangan kematangan melalui pemberian rangsangan pada klien agar dapat menggali potensi diri. Seorang konselor yang baik perlu menguasai beberapa keterampilan dasar yang biasanya disebut dengan micro skill. Diantaranya adalah (1) minimal respon, (2) refleksi isi, (3) refleksi perasaan, (4) refleksi isi dan perasaan, (5) mode visual, auditori dan sentuhan, (6) bertanya, (7) merangkum, (8) reframing, (9) konfrontansi, (10) mengubah keyakinan diri yang merusak, (11) menormalkan keadaan emosi, (12) mengeksplorasi pilihan, (13) memfasilitasi tindakan dan (14) penghentian. Untuk menghasilkan kualitas dan keefektifan yang baik, konselor perlu menggunakan kemampuan tersebut secara tepat selama proses konseling.
              Salah satu keterampilan yang harus dimiliki oleh konselor untuk meningkatkan kualitas dan keefektifan proses konseling adalah refleksi isi dan perasaan. Dalam makalah ini akan dijelaskan keterampilan dasar konseling berupa refleksi isi dan perasaan beserta dengan contoh-contohnya. Pada kemampuan ini, konselor perlu memberi feedback yang berisi refleksi isi dan perasaan secara tepat pada saat proses konseling. Kadang-kadang ketika konselor menyatakan kembali kemarahan atau ketidaksukaan klien dengan mengatakan “Anda sedang marah”, klien akan menolak untuk mengakuinya. Hal tersebut disebabkan oleh kebiasaan sejak kecil yang menyatakan bahwa marah itu salah dan menangis itu tidak baik.
              Dengan demikian diperlukanlah seorang konselor yang memungkinkan klien untuk sepenuhnya mengalami emosi dan merasa lebih baik setelah menyadari perasaannnya. Salah satu keterampilan yang dapat membantu konselor untuk menyadari hal itu adalah dengan menggunakan keterampilan refleksi isi dan perasaan yang mana akan membantu klien untuk menghubungkan antara perasaan dan proses kognitif yang mendasarinya dan membantu konselor untuk memhami dunia klien lebih dalam.
B.   PEMBAHASAN
         Refleksi isi dan perasaan merupakan suatu kombinasi dalam satu pernyataan. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh di bawah ini.
Contoh 1
-          Klien: “Saya tidak tahu mengapa dosen itu tidak suka pada saya. Saya sudah merevisi berulang kali segala sesuatu yang dia nyatakan salah. Tapi, tetap saja saya tak pernah benar di depan matanya. Saya tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan. Saya pikir dia punya dendam terhadap saya.
-          Tanggapan konselor: “Anda merasa kesal karena usaha yang anda lakukan terlihat sia-sia di depan dosen anda”

              “Anda merasa kesal” merupakan refleksi konselor dari perasaan yang sedang dirasakan oleh klien. Sedangkan “usaha yang anda lakukan terlihat sia-sia di depan dosen anda” merupakan refleksi konselor terhadap isi yang dinyatakan oleh klien. Dengan menyampaikan refleksi isi dan perasaan, klien tidak hanya merasa di dengarkan tetapi juga melatih hubungan antara emosional dan kognitifnya. Seringkali klien menutupi luapan emosinya agar dapat diterima oleh lingkungan sehingga muncul ketidaksinambungan antara emosional dan kognitif.

Contoh 2
·         Klien: “Saya merasa sangat beruntung berada di Fakultas Psikologi berbeda sekali saat saya masih di fakultas yang lama. Semua mahasiswa yang ada disini sangat ramah dan peka. Mereka selalu membuat saya yakin bahwa mereka menyukai saya apa adanya saya. Saya tidak perlu berpura-pura menjadi orang baik untuk disukai. Mereka menghargai saya ketika saya tampil apa adanya”
·         Tanggapan konselor: “Anda terlihat bahagia dengan lingkungan baru anda sekarang”

              Begitupula dengan contoh berikut, refleksi isi dan perasaan tidak harus bekisar tentang perasaan yang negatif. Konselor dapat merefleksikan perasaan positif pada klien agar klien merasa terlatih bahwa setiap perasaan yang muncul disebabkan oleh suatu hal. Dengan demikian, konselor dapat terus melatih klien untuk sadar dalam tiap perasaan yang dia alami.
Contoh 3
ü  Klien: “Suami saya pernah diancam oleh seseorang yang tak dikenal melalui handphone. Suami saya disuruh mendatangi sebuah lokasi di pedesaan luar kota. Tapi suami saya mengacuhkannya dan saat ini suami saya sedang ke luar kota untuk kepentingan pekerjaannya tapi sudah 2 hari saya tidak tahu kabar tentang dirinya.”
ü  Tanggapan konselor: “Tampaknya anda merasa khawatir atas apa yang terjadi pada suami anda.”

              Seorang konselor bertugas untuk mendengarkan klien sehingga tanggapan pendek dan jelas sangat penting dalam proses konseling. Tanggapan yang panjang seringkali akan mengganggu proses klien. Seringkali klien, dalam tanggapan yang panjang akan terdapat beberapa unsure proyeksi dari konselor ke klien, sehingga tidak efektif dalam proses konseling. Tanggapan yang panjang membuat klien berpikir ke hal yang dibicarakan oleh konselor dan tidak lagi berfokus pada cara pandang klien. Seorang konselor diharapkan dapat menyelami sudut pandang klien dari ceritanya dan kemudian mengerti, memahami dan ikut merasakan masalah klien. Dengan demikian klien akan merasa lebih
              Keterampilan ini bergantung pada pengalaman dari konselor. Semakin banyak konselor melatih keterampilannya untuk berhadapan dengan klien maka teknik ini juga akan semakin baik. Dari teknin ini, diharapkan konselor dapat bertindak efektif dalam mebantu klien, sampai klien benar-benar merasa terbantu tanda harus ada ketergantungan dengan konselor.
            Berikut ini, kami akan memberikan beberapa contoh lebih lanjut tentang penggunaan refleksi isi dan perasaan:
ü  Klien   :Belum lagi tekanan dari lingkungan yang saya alami. Saya malu sekali ketika bertemu dengan teman-teman yang sudah lulus apalagi bertemu dengan kerabat saudara yang selalu bertanya kapan saya lulus. Seperti tak ada habisnya, semua orang berlomba-lomba untuk membuat ku malu dan terpojok.
ü  Tanggapan konselor: kamu merasa tidak percaya diri ketika harus bertemu dengan teman-teman mu dan kamu merasa bahwa tak ada orang yang memahami keadaan mu sekarang.

ü  Klien   :Saya ini mahasiswi semester 10 yang sudah seharusnya lulus. Tetapi saya tidak bisa karena saya stagnate di skripsi. Sepertinya kelulusan saya ini di persulit oleh beberapa dosen buk. Saya tidak paham apa yang mereka maui. Saya sudah mengerjakan segala hal yang mereka katakan, merevisi berulang kali, membaca lebih banyak lagi dan lain sebagainya tetapi tetap saja semuanya sia-sia. Ingin rasanya saya berteriak di depan wajah mereka bahwa saya ini manusia dan saya lelah.
ü  Tanggapan konselor: anda merasa sangat marah dan putus asa karena setiap usaha yang anda lakukan untuk lulus selalu gagal. Benar demikian?

              Seorang konselor tidak perlu menggunakan bahasa yang asing dan rumit agar terlihat pintar. Mengingat bahwa kelebihan konselor adalah mampu berjalan di sisi klien untuk memeriksa dunianya sehingga menemukan dan dapat menyelesaikan apa yang menjadi kebingungannya.



















C.   KESIMPULAN
            Seperti yang telah dijelaskan di awal, refleksi isi dan perasaan membantu klien untuk dapat menyadari keadaannya sekarang dan meyakinkan persepsi konselor atas keadaan emosional klien. Pernyataan tidak tepat yang tersampaikan dalam proses konseling dapat menjauhkan klien dari apa yang menjadi pengalamannya dan membawa klien keluar dari dunia pribadinya. Hal tersebut akan menyebabkan konselor susah membuat klien menyadari realitasnya selama ini. Penggunaan refleksi isi dan perasaan akan membuat klien untuk tetap menguhubngkan antara kognitif dan perasaannya sehingga akan lebih mudah bagi klien dalam proses menyadari apa yang di alami sekarang.
            Dengan menguasai keterampilan-keterampilan dalam konseling,terutama refleksi isi dan perasaan pada waktu yang tepat, kami yakin bahwa konselor dapat masuk ke dalam sudut pandang klien dan bisa memahami, mengerti dan merasakan apa yang dialami klien. Dengan demikian dapat pula membantu klien keluar dari kebingungannya.


















D.   DAFTAR PUSTAKA
            Geldard,K dan Gerald,D. 2011. Keterampilan Praktik Konseling: Pendekatan Integratif. Jakarta: Pustaka Pelajar

Tahap III - Refleksi Perasaan


A.    Pengertian
Refleksi perasaan adalah teknik yang digunakan konselor untuk menangkap dan memantulkan perasaan/sikap yang terkandung dibalik pernyataan klien. Dalam hal ini konselor bertugas untuk mendengarkan secara cermat, menafsirkan perasaan yang tersirat dan merumuskannya dalam kalimat jelas yang berisi kata perasaan menurut dugaan konselor (Sugiharto dan Mulawarman, 2007).
Refleksi yang baik tentang perasaan mencakup pengenalan akan apa yang dikatakan dan bagaimana klien mengatakannya. Refleksi perasaan juga merupakan teknik penengah yang bermanfaat untuk digunakan setelah hubungan permulaan (tahap awal konseling) dilakukan dan sebelum pemberian informasi serta tahap interpretasi dimulai. Perasaan biasanya dinyatakan dengan satu kata, sedangkan pikiran hanya dapat dinyatakan dengan menggunakan serangkaian kata-kata.
Refleksi perasaan bisa berwujud positif, negatif, dan ambivalen. Refleksi perasaan positif ditunjukkan oleh konselor dalam konseling melalui pernyataan persetujuan atas apa yang disampaikan oleh klien. Refleksi perasaan negatif ditunjukkan oleh konselor dalam konseling melalui pernyataan ketidaksetujuan atau penolakan konselor atas apa yang dinyatakan oleh klien. Sedangkan refleksi perasaan yang ambivalen ditunjukkan oleh konselor dengan membiarkan saja (tidak menyatakan setuju dan tidak menolak) atas apa yang dinyatakan oleh klien.
Pada saat yang sama, refleksi perasaan mirip dan berbeda dengan parafrase. Dikatakan mirip karena melibatkan dan mencerminkan kembali informasi dari klien kepada klien. Namun, refleksi perasaan juga berbeda dengan parafrase karena berhubungan dengan perasaan emosional, sedangkan parafrase umumnya berkaitan dengan informasi dan pikiran yang membentuk isi dari apa yang dikatakan klien.

B.     Manfaat
Manfaat refleksi perasaan dalam proses konseling adalah:
1.       Membantu klien untuk merasa dipahami secara mendalam,
2.       Klien merasa bahwa perasaan menyebabkan tingkah laku,
3.       Memusatkan evaluasi pada klien,
4.        Memberi kekuatan untuk memilih,
5.       Memp  merjelas cara berpikir klien, dan
6.       Menguji kedalaman motif-motif klien.

C.     Tujuan
Ada beberapa tujuan dari refleksi perasaan (Hariastuti dan Darminto, 2007: 42) antara lain yaitu:
a.    Membantu klien memahami perasaanya.
b.   Mendorong klien agar lebih banyak mengekspresikan perasaanya, baik positif maupun negatif, tentang situasi, orang, atau hal-hal khusus lainnya.
c.    Membantu klien menata atau mengatur perasaan-perasaannya.
d.   Memberitahukan pada klien bahwa konselor memahami perasaan klien yang tidak suka atau marah kepada konselor, sehingga perasaan tersebut dapat berkurang.
e.    Membantu kien membedakan intensitas berbagai perasaan yang ada dalam dirinya.

Di bawah ini merupakan beberapa contoh respon konselor dengan menerapkan teknik refleksi perasaan :
a.       Contoh 1 :
Pernyataan klien: Aku mendapatkan pekerjaan baru belakangan ini. Itu cukup berbeda dari pekerjaan yang dulu. Atasannya baik padaku, aku mendapat sebuah kantor yang bagus untuk bekerja, suasana dalam perusahaan sangat positif. Saya tidak bisa percaya bahwa saya sangat beruntung.
Respon Konselor: “Nampaknya Anda merasa sangat gembira” atau “Anda sangat gembira”.

b.      Contoh 2 :
Pernyataan klien: Anak muda sekarang tidak seperti saya dulu, pintar berpakaian,mereka kotor, mereka kasar, mereka tidak berdiri untuk Anda saat di dalam bis, aku tidak tahu apa yang terjadi pada generasi baru.
Respon Konselor: “Sepertinya Anda merasa jijik”



c.       Contoh 3 :
Pernyataan klien: pacar saya menelpon saya dari hotelnya di luar negri. Dia adalah seorang wartawan dan ditempatkan di daerah pusat kekacauan. Saat saya berbicara dengannya di telepon saya bisa mendengar suara-suara marah dibelakang, dan kemudian ada kecelakaan yang luar biasa, dan sambungan terputus, dan saya tidak tau apa yang terjadi padanya! ( berkata dengan cepat dan terengah-engah)
Respon Konselor: “Nampaknya Anda sangat khawatir dengan pacar Anda” atau “kelihatannya Anda panik setelah sambungan telepon tersebut terputus

Tahap II - Refleksi Isi (Paraphrasing)


MEREFLEKSIKAN ISI (PARAPHRASING)

Refleksi merupakan satu usaha konselor memahami klien dari sudut pandangan klien itu sendiri. Kemahiran refleksi digunakan oleh kaunselor untuk menjelaskan semula idea yang sukar difahami yang dinyatakan oleh klien. Ia membantu menjelaskan kekusutan.
Refleksi isi merupakan keterampilan konselor untuk memantulkan ide, pikiran, pendapat klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbal klien. Kata-kata yang bisa digunakan : “ Nampaknya yang akan anda katakana….”, - ”Barangkali yang akan anda utarakan adalah…” , - “ Adakah yang anda maksudkan…”.
Kaunselor membuat parafrasa isi kemudian tanya betul atau tidak. Kaunselor menyatakan semua mengenai idea yang disampaikan oleh klien. Idea ini dinyatakan semua oleh kaunselor dengan menggunakan perkataan yang ringkas, padat dan tepat.
Konselor tidak hanya meniru atau mengulang kata yang diucapkan oleh klien tetapi merefleksikan isinya. Konselor menjelaskan dengan kata-katanya sendiri sesuatu yang paling penting tentang apa yang dikatakan klien pada konselor. Ini berarti konselor harus menangkap detail yang paling penting  tentang apa yang klien katakan dan diekspresikan jika itu memungkinkan.
Dengan memparafrasekan dan mengekspresikan kembali perkataan klien , maka konselor dapat membantu konseli untuk berpikir jernih tentang apa yang dibicarakannya. Klien dapat menyelesaikan permasalahannya tanpa konselor harus memberinya perntanyaan-pertanyaan, saran-saran atau menyodorkan nasehat.
Kesan refleksi isi:
1.      Klien berasa didengari oleh konselor dengan betul
2.      Klien berasa dirinya dipahami oleh kaunselor
3.      Klien mendengar semula apa yang sedang dikatakannya dan menyemak kesahihan fakta tersebut
4.      Membantu menyemak persepsi konselor.
Parafrasa yang bagus adalah yang tidak mengganggu klien, yaitu parafrasa yang tidak mengalihkan konsentrasi klien dari persoalan yang sedang ia coba selesaikan.
.Contoh :
1.
Konseli
:Aku merasa semua waktuku habis hanya untuk mengurusi pekerjaanku, hingga beberapa kali sehingga aku membatalkan janji dengannya secara mendadak.
Konselor
: hmmm… jadi kamu merasa pekerjaanmu menyita banyak waktu dan membuat hubungan sosialmu tidak berjalan baik.

Dari contoh 1 di atas dapat kita lihat bahwa konselor mengatakan “hmmm… jadi kamu merasa pekerjaanmu menyita banyak waktu dan membuat hubungan sosialmu tidak berjalan baik.”. Dalam hal ini konselor sedang melakukan refleksi isi terhadap apa yang dikatakan konseli.

Konseli
: Sebenarnya aku tidak bisa menyelesaikan pekerjaan ku secara langsung, terkadang aku merasa tidak harus mengerjakannya sekarang, masih banyak waktu , namun terkadang pekerjaan ku menumpuk dan aq butuh waktu ekstra dan harus membatalkan janji dengan  sahabatku. Lalu aku menjadi kacau, pekerjaanku tidak selesai, sahabatku marah dan aku tidak tahu harus bagaimana lagi..
Konselor
: Apa yang kelihatannya terjadi adalah kamu sangat sulit menyelesaikan tugas tanpa menundanya terlebih dahulu dan konsekuensinya kamu akhirnya kekurangan waktu sehingga harus membatalkan janji yang telah kau buat dan berdampak pada kemarahan sahabatmu.

Dari contoh 2 di atas dapat kita lihat bahwa konselor mengatakan “Apa yang kelihatannya terjadi adalah kamu sangat sulit menyelesaikan tugas tanpa menundanya terlebih dahulu dan konsekuensinya kamu akhirnya kekurangan waktu sehingga harus membatalkan janji yang telah kau buat dan berdampak pada kemarahan sahabatmu.”. Dalam hal ini konselor juga sedang melakukan refleksi isi terhadap apa yang dikatakan konseli.
           
Respon-respon yang tidak tepat
Membeo
Membeo adalah mengulang apa yang dikatakan klien kata demi kata. Pembeoan hanya dilakukan sesekali bisa dimanfaatkan untuk menekankan arti penting dari hal-hal yang telah dikatakan klien, untuk membantu klien melengkapi pernyataan yang belum ia selesaikan. Jika terus menerus menirukan apa yang dikatakan klien, maka klien akan merasa terganggu




Daftar Pustaka
-          Geldard,K dan Gerald,D. 2011. Keterampilan Praktik Konseling : Pendekatan Integratif. Jakarta: Pustaka Pelajar

Tahap I - Minimal Respon


Minimal respon adalah cara untuk menghadapi klien dimana yang dilakukan konselor lebih banyak mendengarkan dari pada berbicara didalam sebuah percakapan.
Bentuk minimal respon adalah:
1.      Minimal respon non-verbal menganggukan kepala.
2.      Minimal respon verbal “a-ha”, “u-hum”, “ya”, “oke”, dan “baik”
Fungsi minimal respon  adalah :
·         Untuk menegaskan pada klien bahwa konselor mendengarkan apa yang klien katakan serta memahami perasaan atau kesulitan yang dialami oleh klien
·         Untuk mengkomunikasikan pesan-pesan lainnya, seperti menyatakan bahwa konselor setuju dengan pernyataan klien.
Pengunaan respon yang minimal dapat dipadukan  dengan prilaku non-verbal supaya membantu klien merasa bahwa ia benar-benar didengarkan. Misalnya dengan cara mengikuti atau menyesuaikan perilaku non-verbal dan sikap klien. Dengan demikian, klien dapat merasa lebih tenang dan akan menyesuaikan perilaku konselor ketika konselor melakukan perubahan, sehingga konselor dapat membawa perubahan pada keadaan emosional klien. 
Dalam memberikan minimal respon hendaknya melihat situasi atau waktu yang tepat karena jika memberikan minimal respon terlalu sering dapat mengganggu, bahkan merusak konsentrasi atau fokus klien, contohnya :
Konselor          : Bagaimana kabarnya hari ini (tersenyum melihat klien)
Klien                : Aku lagi sedih, sahabatku yang sudah lama aku kenal mulai dari SD sampai sekarang dan yang sangat aku percaya ternyata menghianati hati saya (wajah sedih)
Konselor          : Ehm....terus....
Kln                  : Dia sudah membocorkan rahasiaku
Konselor          : Ya...
Klien                : Didepan teman-temanku.
Konselor          : Ya...
Klien                : Yang lebih sebel ternyata pada orang yang aku nggak sukai (dengan nada tinggi)
Konselor          : Ya....
Klien                : ?????!!!!&&&&
Contoh tersebut dapat merusak konsentrasi klien bahkan klien merasa tidak percaya apa konselor mendengarkannya karena konselor memakai minimal respon yang terlalu sering tanpa melihat kondisi atau percakapan klien, sehingga terkesan tidak mendengarkan. Sebaliknya jika konselor terlalu sedikit menggunakan minimal respon klien akan merasa bahwa konselor tidak benar-benar mendengarkannya, contoh :
Konselor          : Bagaimana kabarnya hari ini (tersenyum melihat klien)
Klien                : Aku lagi sedih, sahabatku yang sudah lama aku kenal mulai dari SD sampai sekarang dan yang sangat aku percaya ternyata menghianati hati saya (wajah sedih)
Konselor          : .........
Klien                :Dia sudah membocorkan rahasiaku didepan teman-temanku, yang lebih sebel ternyata pada orang yang aku nggak sukai (dengan nada tinggi)   
Konselor          : oh...
Contoh tersebut menunjukan minimal repon yang terlalu kurang, sehingga konselor tampak tidak terlalu memahai atau mendengarkan klien.
Untuk melakukan minimal respon yang baik, konselor harus dapat menciptakan relasi yang empatik seperti mencoba masuk dan memahami diri melalui gesture tubuh, mimik wajah dan perkataan, memapukan kecepatan berbicara sehingga tidak saling mendahului antara konselor dan klien dan penggunaan nada suara yang tepat seperti “keras”, “lirih”, “bersemangat” dll.
Respon yang panjang dalam menanggapi klien juga dapat disederhanakan dalam bentuk minimal respon sehingga tidak bertele-tele dan menghemat tenaga dan waktu. Contohnya :
Klien                : Aku langsung pergi begitu saja. Waktu itu aku marah sekali sama dia, sehingga aku tidak bisa berpikir lagi, ya...... aku langsung pergi saja  (remas-remas tangan dan suara meninggi)
Konselor          : Selanjutnya apa yang terjadi ?. (repon panjang)
                         Lalu..... (minimal respon)
Klien                :Tapi aku tidak bisa terima atas perlakuan dia sebenarnya, aku sudah mencoba untuk ngomong langsung sama dia mengenai tindakannya. Tapi aku tidak merasa enak..... jujur saja sih ..aku sudah mulai malas  sama dia..
Cara lain yang dapat digunakan untuk membantu klien merasa nyaman, merasa benar-benar didengarkan, mempengaruhi (secara tidak langsung) dan mengamati (observasi) kilen adalah dengan memadukan prilaku non-verbal antara konselor dan klien atau disebut efek cermin. Contonya : “klien duduk  agak maju dari kursi sambil meletakkan tangan di pangkuan, kemudian konselor menirukan cara duduk klien”. Secara tidak langsung klien kan merasa hubungan intim antara konselor dan klien sehingga timbul rasa nyaman dan percaya pada konselor. Selain itu konselor juga dapat mengamati gestur tubuh klien, dimana posisi duduk yang seperti itu menunjukan tanda-tanda apa dalam diri kien (nyaman atau kurang nyaman). Dalam rentang waktu tertentu konselor selalu menirukan prilaku non-verbal klien dan tiba-tiba konselor tidak menirukan lagi, klien akan sebaliknya menirukan prilaku non-verbal konselor, dengan demikian konselor dapat mempengaruhi dan membawa perubahan emosional pada klien. 
Dalam konseling ada hal-hal yang perlu dihindari konselor, salah satunya adalah pergerakan badan konselor yang terlalu cepat. Kenapa pergerakan badan terlalu cepat tidak boleh ? karena dapat mengganggu konsentrasi klien pada saat melakukan konseling. Contohnya : “pada saat klien sedang berbicara atau mengungkapkan sesuatu pada konselor, tiba-tiba konselor mengambil kertas catatan dengan cepat bertujuan agar tidak mengganggu konsentrasi klien”. Tindakan yang dilakukan konselor tersebut kurang tepat karena gerakan cepat yang dilakukan konselor tersebut memecah konsentrasi klien sebab klien secara tidak langsung mengamati apa yang dilakukan oleh konselor tersebut. Gerakan yang cepat akan menyedot perhatian seseorang dan membuat orang tersebut bertanya-tanya. Misalnya, “kenapa dia mengambil barang itu dengan tergesa-gesa?”,” ada hal menarikkah yang membuatnya mengambil barang itu dengan cepat?” atau apakah ada sesuatu yang disembunyikan?”. Pertanyaan tersebut secara otomatis akan timbul dalam diri klien yang secara sengaja atau tidak sengaja melihatnya. Hal yang tepat untuk dilakukan agar tidak mengganggu konsentrasi klien adalah dengan bergerak secara natural dan rileks.
Ketenangan sangat diperlukan oleh klien untuk berfikir dalam proses konseling. Konselor cenderung kurang memberikan waktu untuk berfikir saat proses konseling dilakukan. Saat keadaan diam dimana konselor dan konseling terdiam, konselor cenderung membuka pembicaraan sehingga tidak ada waktu untuk klient berfikir atau merefleksikan apa yang telah dikatakan. Padahal, ketika klien terdiam setelah berbicara, saat itulah akan berfikir dan merefleksikan apa yang telah ia katakan karena dapat membantu klien untuk menggali lebih dalam lagi atau malah berfikir untuk mengatasi masalahnya sendiri. Masalah besar yang dihadapi konselor dalam bersikap ketika berada pada suasana dimana klien terdiam adalah memahami kondisi klien untuk menentukan tindakan apa yang harus ia lakukan. Pada situasi tersebut wajar kalau konselor merasa binggung untuk menyikapinya, ada dua pilihan yang mungkin difikirkan konselor apakah membuka percakapan atau memebrikan waktu berfikir. Tatapan mata klien dapat memberikan informasi apakah ia sedang berfikir atau tidak. Ketika mata klien seperti terfokus secara terus menerus pada kejauhan dengan pergerakan bola mata keatas, terpusat kedepan atau kebawah menandakan bahwa klien sedang berfikir. Namun, apabila mata klien tampak menerawang kekosongan berarti klien tidak sedang berfikir. Konselor harus dapat memahami tatapan mata klien sehingga dapat menentukan tindakan yang harus ia lakukan dengan tepat, seperti memberi waktu untuk berfikir atau membuka perbincangan. Selain itu tatapan mata klien dapat memberikan banyak informasi, salah satunya dapat mengetahui keseriusan klien, jujur atau bohong saat bercerita serta kebahagiaan dapat terlihat pula. Contohnya : saat tatapan mata klien terfokus, pertanda kalau klien serius dalam berbicara atau bercerita sedangkan tatapan mata bimbang tak menentu arah pertanda klien berbohong. Kontak mata sangat diperlukan dalam konseling, selain untuk membangun raport dan mengamati klien, dapat juga berfungsi untuk mengetahui keadaan klien saat berkonsultasi. Kontak mata dengan klien dilakukan senatural mungkin, jangan dibuat-buat karena dapat menimbulkan rasa ketidaknyamanan pada klien, dapat bermakna intimidasi, pikiran mesum atau menakut-nakuti yang akhirnya mengganggu konsentrasi klien.